Selasa, 18 Januari 2011

waktu terjadinya pembentukan karakter manusia, dan konsep psychologies manusia

Psychology manusia yang baru lahir belum mengenal diri sendiri. Pribadi awal ini biasa terbentuk dari bantuan keluarga dan orang terdekat.
- Antar umur 2 s/d 6 rata2 anak balita mulai mengenal diri mereka siapa? Paling tidak namanya, anggota keluar sampe sanak saudara.
- Antara Umur 6 s/d 11 thn, ini merupakan Saving Memory yg terhebat (Menurut pakar ilmuan kedokteran). Saat usia ini dipercaya Otak manusia paling gampang menyerap sesuatu pengalaman yg mereka temui dan tersimpan dalam otak kecil yg menyebabkan imajinasi atau traumtis yg tidak disadari ketika dewasa. (Sudah masuk kedalam proses Pembentukan Karakter).
- Antara Umur 11 s/d 20, mulai mencari-cari sumber pengalaman sendiri (Ber-experience). Kata awamnya, mulai nakal. Berusaha mencari jati diri dan ingin membentuk dirinya sendri (Obsesi).
- Antara Umur 20 s/d 25 thn. "Mayoritas" disaat usia inilah manusia terbentuk secara alami, tanpa disadari terjadi pembentukan karakteristik.

Konsep Psikologis manusia

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan 
obyek sekaligus. Menusia berfikir dan merenung, kemudian menjadikan 
dirinya sebagai obyek fikiran dan renungan.. Manusia sangat menarik 
di mata manusia itu sendiri. Terkadang manusia dipuja, tetapi di kala 
yang lain ia dihujat. Scara internal manusia sering merasa bangga dan 
bahagia menjadi manusia, tetapi di mata orang lain atau di waktu yang 
lain, ia terkadang menyesali diri sendiri, menyesali keberadaannya 
sebagai manusia.

Ada manusia yang perilakunya berada di luar batas perikemanusiaan, 
tetapi ada juga manusia yang begitu tinggi tingkat kemanusiaannya 
sehingga ia disebut sebagai "manusia suci". Pada umumnya manusia 
tertarik untuk bertanya tentang dirinya ketika berada dalam puncak-
puncak kebahagiaan, kesedihan, ketakutan, keberhasilan dan puncak 
kegagalan. Ada kesepakatan pandangan, bahwa betapapun manusia terdiri 
dari jiwa dan raga, tetapi penilaian tentang kualitas manusia 
terfokus pada  jiwanya, terkadang disebut hatinya, karena hakikat 
manusia adalah jiwanya..

Dalam sejarah keilmuan, lahirnya filsafat, antropologi, psikologi, 
ekonomi dan politik sesungguhnya juga merupakan upaya mencari jawaban 
tentang manusia, tetapi  khusus tentang jiwa manusia,  ia dibahas 
oleh filsafat, psikologi  dan agama. 

Psikologi sebagai disiplin ilmu baru lahir pada akhir abad 18 Masehi, 
tetapi akarnya telah menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitip 
ummat manusia. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, 
tubuhnya hanya sekedar alat saja. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa 
adalah fungsi dari badan sebagaimana penglihatan  adalah fungsi dari 
mata. Hinga kini sekurang-kurangnya ada empat mazhab psikologi, yakni 
(1)Psikoanalisa, (2) Behaviorisme, (3) Kognitip dan (4) Humanisme. 
Empat mazhab itu menggambarkan adanya dinamika pemahaman terhadap 
manusia yang sifatnya trial and error.

Freud dengan teori psikoanalisanya  memandang manusia sebagai homo 
volens, yakni makhjluk yang perilakunya dikendlikan oleh alam bawah 
sadarnya. Menurut teori ini, perilaku manusia  merupakan hasil 
interaksi dari tiga pilar kepribadian; id, ego dan super ego, yakni 
komponen biologis, psikologis dan social, atau komponen hewani, 
intelek dan moral.

Teori ini dibantah oleh Behaviorisme yang memandang perilaku manusia 
bukan dikendalikan oleh factor dalam (alam bawah sadar) tetapi 
sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang nampak,y ang terukur, 
dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia disebut 
sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang 
bekerja tanpa ada motiv di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh 
factor obyektip (bahan baker, kondisi mesin dsb). Manusia tidak 
dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa 
dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami 
atau yang dipersiapkan untuknya.

Teori ini dibantah lagi oleh teori Kognitip yang menyatakan bahwa 
manusia tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan, tetapi ia bisa 
aktip bereaksi  secara aktip terhadap lingkungan dengan cara 
berfikir. Manusia berusaha memahami  lingkungan yang dihadapi dan  
merespond dengan fikiran yang dimiliki. Oleh karena itu menurut teori 
Kognitip, manusia disebut sebagai homo sapiens, makhluk yang berfikir.

Teori Kognitip dilanjutkan oleh teori Humanisme. Psikologi Humanistik 
memandang manusia sebagai eksistensi yang positip dan menentukan. 
Manusia adalah makhluk yang unik, memiliki cinta, krestifitas, nilai 
dan makna serta pertumbuhan pribadi. Oleh karena itu teori Humanisme 
menyebut manusia sebagai homo ludens, yakni manusia yang mengerti 
makna kehidupan. 

Psikologi lahir dari budaya sekuler, oleh karena itu Psikologi tidak 
mengenal Tuhan, dosa maupun baik buruk. Yang dikenal dalam Psikologi 
adalah sehat psikologis dan sakit psikologis. Meski demikian dewasa 
ini Psikologi Humanistik sudah mulai meraba-raba wilayah yang 
sumbernya dari wahyu, yakni disamping membahas kecerdasan intelektual 
dan emosional, juga dibahas kecerdasan spiritual.

Pembentukan karakter manusia menurut para ahli, dan pendidikan karakter

Dalam buku The Psychology of Moral Development (1927), Lawrence Kohlberg menyimpulkan terhadap hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang. 

Teori yang dihasilkan dari penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.
Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi suci (homo devinans and homo religious) yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku. Kohlberg lebih menitikberatkan pada adanya interaksi sosial dan perkembangan kognitif seseorang. Ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian. Sementara potensi fitrah merupakan konsep keagamaan yang dianggap tidak empirik karena di dalamnya memuat keyakinan tentang struktur jiwa manusia, seperti ruh, akal, qalb dan nafs.
Sementara jauh sebelumnya, Sigmund Freud memiliki pendapat tentang potensi pada diri manusia yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu: id, ego, dan superego (es, ich, ueberich). Menurutnya, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psiko-seksual tertentu pada enam tahun pertama dalam kehidupannya. Berdasarkan teorinya tersebut, Freud menyimpulkan bahwa moralitas merupakan sebuah proses penyesuaian antara id, ego, dan superego. Titik lemah terbesar Freud dan para penganutnya bukan pada kesalahan teorinya, tetapi adalah over generalisasi dari teori tersebut, sehingga dalam kacamata Freud, manusia dapat dikatakan tidak berbeda dengan binatang, bahkan lebih menderita karena tidak sebebas binatang dalam melampiaskan nafsunya.
Di sisi lain, ada tokoh psikologi Barat, William James, berpendapat dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1982) yang menyebutkan bahwa manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama), yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama. James tidak menyetujui pandangan para pakar yang menganggap fenomena keagamaan ruhaniah manusia selalu berkaitan dengan –bahkan berawal dari-- kondisi psiko-fisiologis dan kesehatan seseorang. Ia menentang pandangan materialisme medis yang mereduksi agama dan pengalaman religius yang sifatnya spiritual, menjadi sesuatu yang bersumber dari gangguan syaraf. Menurut telaah James terhadap pengalaman spiritual-religius, bahwa pengalaman religius individu-individu berkaitan dengan integritas kepribadian yang baik. Penghayatan seperti itulah oleh William James disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power). Artinya, adanya pengakuan terhadap kekuatan di luar diri yang serba Maha dapat dijadikan sebagai sumber nilai-nilai luhur abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.

Di dalam Islam, Al-Ghazali memiliki pandangan unik tentang pebentukan karakter manusia dalam kitab al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (tt). Ia menyatakan bahwa sumber pembentukan karakter yang baik itu dapat dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah (asma’ al-Husna) dalam perilaku seseorang. Artinya, untuk membangun karakter yang baik, sejauh kesanggupannya, manusia meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas beragama, dan sebagainya. Sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan taqarub kepada Tuhan. Karena itu, Al-Ghazali tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir tetapi juga kebersihan ruhani.
Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang sholat, puasa, dan haji, dapat disimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan ruhani. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teleologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa amal itu baik ketika menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan itu. Mengenai tujuan pokok etika Al-Ghazali ditemui dalam semboyan tasawuf yang terkenal al-takhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyan yang lain, al-shifatir-rahman ala thaqalil–basyatiyah.

Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan segala akibat dari keputusan yang ia buat. Karakter terbentuk bersama proses pendewasaan manusia, karena pada mulanya seorang anak manusia belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan tentang ajaran etika ataupun moral.
Dalam kaitan inilah peran pendidikan harus benar-benar mampu mengatasi krisis moral yang ditandai dengan maraknya aksi anarkhisme akhir-akhir ini. Setiap saat manusia berinteraksi dengan lingkungan yang mengalami perubahan tak menentu. Tata nilai yang telah mapan sering digoyahkan oleh nilai-nilai baru yang masih mencari jati diri.
Bertolak dari kondisi ini maka pendidikan memegang peranan yang sangat penting sebagai wahana mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi lingkungan hidup dengan norma dan tata nilai kehidupan yang beragam, sehingga dalam konsepnya,suatu pendidikanpun harus selalu ada pembaharuan isi kurikulum.
Kurikulum dalam proses pembelajaran merupakan salah satu komponen yang sangat penting selain guru serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan kurikulum yang terencana diharapkan nafas pendidikan tidak akan tersengal ketika harus berlari mengejar kemajuan teknologi di luar sekolah, namun demikian tetap konsisten berpegang pada tata nilai dan norma agar tidak berbelok dari hakekat pendidikan yang dimaksud.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat dijabarkan bahwa, pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan sesuai dengan potensi daerah dan potensi peserta didik pada satuan pendidikan masing-masing dengan tetap menggunakan prinsip diversifikasi.
Sungguh ironis apabila satuan pendidikan tidak segera menyesuaikan kondisi ini. Gagap teknologi, krisis moral peserta didik ketika terjun ke lingkungan baru adalah menunjukkan ketidak mampuan satuan pendidikan dalam menyikapi dan melaksanakan kurikulum yang telah dibuat. Sebaliknya satuan pendidikan dapat berlari melesat cepat tatkala sistem yang berimbang yang dibangun dengan saling bersosialisasi dan bersinergi antar pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan.
Dengan tidak mengesampingkan betapa penting terwujudnya suatu kompetensi keahlian sebagai hasil proses pendidikan, kurikulum berbasis karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan dapat menyebabkan seorang anak menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis serta berwawasan luas, memiliki emosional dan jiwa yang stabil.
Guru, yang dalam filosofi Jawa dimaknai sebagai seorang yang digugu dan ditiru, harus dapat dibuktikan. Karena guru adalah cermin sikap dan tingkah laku peserta didiknya. Pendidikan yang berbasis karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih sayang kepada anak didik dengan menunjukkan dan mengajarkan karakter yang bagus, mampu mengejawantahkan ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, dan tutwuri handayani. Itulah potret pendidik yang sesungguhnya.
Urusan utama dalam dunia pendidikan adalah manusia, hal ini jelas karena subyek didiknya berupa manusia, demikian pula obyeknya. Ketika memasuki dunia pendidikan pada hakekatnya manusia siap mengalami penggemblengan diri untuk dibentuk sebagai individu yang bahkan belum ia mengerti. Oleh karena itu di sinilah awal pembentukan karakter dimulai dengan memberikan pemahaman tentang akhlak, etika, moral, norma dan tata nilai.
Akhlak mencakup segala pengertian mengenai tingkah laku, tabi'at, perangai, menjurus pada karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan sang Khaliq ataupun dengan sesama makhluk. Etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat, ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia). Moral diartikan dengan tindakan kesusilaan yang dilakukan manusia dalam berinteraksi di lingkungannya.
Norma dapat diartikan sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan sedangkan nilai adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya dan merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan penghargaan, pujian ataupun celaan sebagai akibat dari sikap dan tingkah laku seseorang.
Mengembangkan pendidikan berbasis karakter berarti mengupayakan tumbuh kembangnya system nilai, moral, dan sikap dalam perikehidupan bermasyarakat secara utuh, tidak terbatas pada lingkungan sekolah saja namun berlanjut pada lingkup yang lebih luas.
Penambahan materi pendidikan tentang budi pekerti merupakan langkah efektif dan sangat penting dilakukan demi terciptanya karakter dan tabiat baik serta menghindari pengkaburan tata nilai.
Kegiatan bimbingan sangatlah perlu dilakukan oleh setiap guru mata pelajaran/mata diklat dengan memanfaatkan waktu beberapa menit sebagai penyegaran perwujudan pembentukan karakter bagi peserta didiknya.
Seperti dikatakan Mendiknas saat memberikan sambutan pada peringatan Hardiknas di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Minggu (2/5), bahwa diantara karakter yang ingin kita bangun adalah karakter yang berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran.
Memang jika dicermati bahwa telah terjadi pengkaburan karakter asli bangsa Indonesia yang dikenal santun sejak jaman nenek moyang mengarah pada karakter yang bersifat sebaliknya. Tidak dipungkiri pula sekarang ini yang seharusnya tugas guru adalah mendidik tapi justru guru banyak yang harus di didik kembali.
Fenomena inilah yang menjadi sorotan Mendiknas sehingga pendidikan karakter perlu segera diterapkan. pendidikan sangat berperan dalam perkembangan kepribadian anak. Karakter adalah produk pendidikan, sedangkan pendidikan sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan batiniah Manusia. Dengan demikian pendidikan janganlah dianggap sebagai pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun harus diperluas mencakup usaha pencapaian emosional dan sosial yang sehat bagi setiap peserta didik.
Akan lebih tepat sasaran apabila mendidik selain berorientasi pada kompetensi, di tujukan pula kepada pengembangan budi pekerti, hati nurani, semangat kecintaan, dan rasa kasih serta kepedulian pada sesama. Membangun karakter berarti membangun peradaban manusia tingkat tinggi. Karakter bangsa yang jelas, kuat, tangguh, berbudi pekerti luhur, jujur, taat hukum, mandiri, dan memiliki etos kerja yang tinggi menghasilkan interaksi yang baik dalam bersosial.
Dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) di masing-masing tingkat satuan pendidikan, sebenarnya sudah cukup memberikan peluang untuk dilaksanakannya pendidikan pengembangan karakter. Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya adalah bahwa kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Jika pendidikan tentang pengembangan karakter sudah masuk dan terintegrasikan dalam kurikulum, maka yang tidak kalah penting adalah pembiasaan warga sekolah dalam memberikan contoh untuk mendorong munculnya sifat baik dalam keseharian. Mungkin pendidikan karakter selama ini sudah ada sekolah yang melaksanakan melalui guru BP.
Namun kenyataan, banyak sekolah yang guru BP nya tidak sebanding dengan jumlah siswanya. Artinya tingkat bimbingan yang dilaksanakan tidak bisa mencapai hasil yang kongkrit. Oleh karenanya perlu metode dan gagasan baru dalam upaya pemberdayaan tenaga pendidik untuk mewujudkan pendidikan pengembangan karakter.
Pada hakikatnya, pendidikan merupakan upaya membangun budaya dan peradaban bangsa. Oleh karena itu, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Pertanyaannya adalah pendidikan yang seperti apa yang dapat membangun karakter bangsa?
Yang jelas bukan pendidikan kekerasan, bukan melalui kegiatan perpeloncoan yang pernah terjadi pada masa-masa penerimaan peserta didik baru, melainkan pendidikan yang menghasilkan output handal yang mampu menjawab segala tantangan peradaban dengan tetap memperhatikan etika, moral, dan tanggung jawab. Dari sinilah akan dimulai pembangunan peradaban luhur suatu bangsa.

Faktor genetik membangun karakter manusia ?

Manusia adalah makhluk yang bebas dan memilih(ikhtiar), yang bisa mencari jalan nasibnya. 
Dari sisi lain, manusia ditentukan oleh garis keturunannya. Mereka katakan bahwa orang tua tidak hanya menurunkan sifat-sifat lahiriah pada si anak, namun juga bisa melahirkan karakter si anak yang mencakup sisi kebaikan dan keburukan. Apakah faktor genetik ini mempunyai pengaruh yang dominan membentuk karakter si anak , dan bagaimana pula hubungan dengan kebebasan manusia (ikhtiar) dalam membangun karakternya?
Dan yang terpenting yang dibahas oleh para psikolog disini, adanya sebuah perubahan kepribadian (karakter), Cattel berkeyakinan, satu pertiga perubahan kepribadian dipengaruhi oleh faktor genetik dan dua pertiga yang lain dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Namun E. Fromm tidak menyakini bahwa karakter akan statis dimasa usia lima tahun, dan kenyataan selanjutnya bahwa karakter manusia bisa mengalami perubahan.
Namun kita katakan bahwa faktor genetik bukanlah sebuah faktor yang menghalangi pengaruh pendidikan. Oleh karenanya, kita tidak melihat dan tidak pula mendengar seorang ibu melarang anaknya untuk mendapatkan pendidikan atau pengajaran, dia akan mempermasalahkan terhadap apa yang diinginkan anaknya atas keberhasilan, bahwasannya pasti tidak akan tercapai, dikarenakan ia beranggapan bahwa si anak telah terwarisi sifat dan akhlaknya. Jadi, selain faktor genetik sebagai faktor yang berpengaruh, juga terdapat faktor lainnya yang sangat bekerja aktif pada diri manusia, diantara yang terpenting adalah: pendidikan, kondisi keluarga, masyarakat, ekonomi, budaya, makanan, udara, iklim dan sebagainya. Dari faktor-faktor tersebut dapat disingkat dengan sebuah kata, yaitu: lingkungan.
Oleh karenanya, pengaruh sifat perubahan lingkungan yang ada pada diri manusia ada dua bentuk pemisalan:
 
1. Sifat dan kriteria yang nampak dalam bentuk kemampuan dan kesiapan manusia, seperti: penyakit TBC, seorang anak  yang dilahirkan dari orang tua yang berpenyakit demikian, akan berpotensi pula akan terserang penyakit tersebut. Akan tetapi jika anak tersebut sudah dipisahkan sejak lahirnya dan dipindahkan ke lingkungan yang sehat, maka memperoleh kesehatannya.
2. Anak yang dilahirkan melalui asal usul genetik yang baik, maka perkembangan anak tersebut nantinya akan beradaptasi dengan lingkungan dimana ia tinggal. Jika ia tinggal dalam lingkungan yang kurang mendukung, maka kemampuannya pun akan pudar. Begitu juga sebagai sesuatu yang mungkin melalui pengaruh iklim dan makanan dapat merubah kondisi badan bagi manusia. Sebagaimana akhlak dan adat setempat dalam sebuah lingkungan akan membuat perubahan pada tingkatan ruh dan kejiwaan manusia.
Akan tetapi saya disayangkan, sebahagian manusia memiliki pandangan keliru, yang lupa akan peranan lingkungan pada kehidupan manusia. Mengekspresikan lingkungan tersebut pada pemikiran mereka, seperti para penyair, dengan membuat pikiran mereka menyatu dengan lingkungan selain hanya bait syair yang mereka sebutkan terasa indah. Seorang penyair berkata:
Sesungguhnya pohon yang jelek jelek pulalah sifatnya
Walau ia tumbuh di taman surga
Yang dapat disimpulkan dari syair ini adalah pohon yang jelek tidak akan memberikan sesuatu kecuali buah yang jelek, kita juga dapat memberikan contoh yang lainnya seperti racun yang ditaburi oleh bahan yang manis (racun di dalam madu), pohon kurma yang hanya membuahkan kurma (tidaklah selain kurma), dan sebagainya.