Selasa, 18 Januari 2011

Pembentukan karakter manusia menurut para ahli, dan pendidikan karakter

Dalam buku The Psychology of Moral Development (1927), Lawrence Kohlberg menyimpulkan terhadap hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang. 

Teori yang dihasilkan dari penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.
Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi suci (homo devinans and homo religious) yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku. Kohlberg lebih menitikberatkan pada adanya interaksi sosial dan perkembangan kognitif seseorang. Ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian. Sementara potensi fitrah merupakan konsep keagamaan yang dianggap tidak empirik karena di dalamnya memuat keyakinan tentang struktur jiwa manusia, seperti ruh, akal, qalb dan nafs.
Sementara jauh sebelumnya, Sigmund Freud memiliki pendapat tentang potensi pada diri manusia yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu: id, ego, dan superego (es, ich, ueberich). Menurutnya, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psiko-seksual tertentu pada enam tahun pertama dalam kehidupannya. Berdasarkan teorinya tersebut, Freud menyimpulkan bahwa moralitas merupakan sebuah proses penyesuaian antara id, ego, dan superego. Titik lemah terbesar Freud dan para penganutnya bukan pada kesalahan teorinya, tetapi adalah over generalisasi dari teori tersebut, sehingga dalam kacamata Freud, manusia dapat dikatakan tidak berbeda dengan binatang, bahkan lebih menderita karena tidak sebebas binatang dalam melampiaskan nafsunya.
Di sisi lain, ada tokoh psikologi Barat, William James, berpendapat dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1982) yang menyebutkan bahwa manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama), yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama. James tidak menyetujui pandangan para pakar yang menganggap fenomena keagamaan ruhaniah manusia selalu berkaitan dengan –bahkan berawal dari-- kondisi psiko-fisiologis dan kesehatan seseorang. Ia menentang pandangan materialisme medis yang mereduksi agama dan pengalaman religius yang sifatnya spiritual, menjadi sesuatu yang bersumber dari gangguan syaraf. Menurut telaah James terhadap pengalaman spiritual-religius, bahwa pengalaman religius individu-individu berkaitan dengan integritas kepribadian yang baik. Penghayatan seperti itulah oleh William James disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power). Artinya, adanya pengakuan terhadap kekuatan di luar diri yang serba Maha dapat dijadikan sebagai sumber nilai-nilai luhur abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.

Di dalam Islam, Al-Ghazali memiliki pandangan unik tentang pebentukan karakter manusia dalam kitab al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (tt). Ia menyatakan bahwa sumber pembentukan karakter yang baik itu dapat dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah (asma’ al-Husna) dalam perilaku seseorang. Artinya, untuk membangun karakter yang baik, sejauh kesanggupannya, manusia meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas beragama, dan sebagainya. Sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan taqarub kepada Tuhan. Karena itu, Al-Ghazali tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir tetapi juga kebersihan ruhani.
Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang sholat, puasa, dan haji, dapat disimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan ruhani. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teleologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa amal itu baik ketika menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan itu. Mengenai tujuan pokok etika Al-Ghazali ditemui dalam semboyan tasawuf yang terkenal al-takhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyan yang lain, al-shifatir-rahman ala thaqalil–basyatiyah.

Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan segala akibat dari keputusan yang ia buat. Karakter terbentuk bersama proses pendewasaan manusia, karena pada mulanya seorang anak manusia belum memiliki nilai-nilai dan pengetahuan tentang ajaran etika ataupun moral.
Dalam kaitan inilah peran pendidikan harus benar-benar mampu mengatasi krisis moral yang ditandai dengan maraknya aksi anarkhisme akhir-akhir ini. Setiap saat manusia berinteraksi dengan lingkungan yang mengalami perubahan tak menentu. Tata nilai yang telah mapan sering digoyahkan oleh nilai-nilai baru yang masih mencari jati diri.
Bertolak dari kondisi ini maka pendidikan memegang peranan yang sangat penting sebagai wahana mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi lingkungan hidup dengan norma dan tata nilai kehidupan yang beragam, sehingga dalam konsepnya,suatu pendidikanpun harus selalu ada pembaharuan isi kurikulum.
Kurikulum dalam proses pembelajaran merupakan salah satu komponen yang sangat penting selain guru serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan kurikulum yang terencana diharapkan nafas pendidikan tidak akan tersengal ketika harus berlari mengejar kemajuan teknologi di luar sekolah, namun demikian tetap konsisten berpegang pada tata nilai dan norma agar tidak berbelok dari hakekat pendidikan yang dimaksud.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat dijabarkan bahwa, pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan sesuai dengan potensi daerah dan potensi peserta didik pada satuan pendidikan masing-masing dengan tetap menggunakan prinsip diversifikasi.
Sungguh ironis apabila satuan pendidikan tidak segera menyesuaikan kondisi ini. Gagap teknologi, krisis moral peserta didik ketika terjun ke lingkungan baru adalah menunjukkan ketidak mampuan satuan pendidikan dalam menyikapi dan melaksanakan kurikulum yang telah dibuat. Sebaliknya satuan pendidikan dapat berlari melesat cepat tatkala sistem yang berimbang yang dibangun dengan saling bersosialisasi dan bersinergi antar pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan.
Dengan tidak mengesampingkan betapa penting terwujudnya suatu kompetensi keahlian sebagai hasil proses pendidikan, kurikulum berbasis karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan dapat menyebabkan seorang anak menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis serta berwawasan luas, memiliki emosional dan jiwa yang stabil.
Guru, yang dalam filosofi Jawa dimaknai sebagai seorang yang digugu dan ditiru, harus dapat dibuktikan. Karena guru adalah cermin sikap dan tingkah laku peserta didiknya. Pendidikan yang berbasis karakter adalah bentuk pendidikan yang bisa membantu mengembangkan sikap etika, moral dan tanggung jawab, memberikan kasih sayang kepada anak didik dengan menunjukkan dan mengajarkan karakter yang bagus, mampu mengejawantahkan ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, dan tutwuri handayani. Itulah potret pendidik yang sesungguhnya.
Urusan utama dalam dunia pendidikan adalah manusia, hal ini jelas karena subyek didiknya berupa manusia, demikian pula obyeknya. Ketika memasuki dunia pendidikan pada hakekatnya manusia siap mengalami penggemblengan diri untuk dibentuk sebagai individu yang bahkan belum ia mengerti. Oleh karena itu di sinilah awal pembentukan karakter dimulai dengan memberikan pemahaman tentang akhlak, etika, moral, norma dan tata nilai.
Akhlak mencakup segala pengertian mengenai tingkah laku, tabi'at, perangai, menjurus pada karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungannya dengan sang Khaliq ataupun dengan sesama makhluk. Etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat, ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia). Moral diartikan dengan tindakan kesusilaan yang dilakukan manusia dalam berinteraksi di lingkungannya.
Norma dapat diartikan sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan sedangkan nilai adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya dan merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan penghargaan, pujian ataupun celaan sebagai akibat dari sikap dan tingkah laku seseorang.
Mengembangkan pendidikan berbasis karakter berarti mengupayakan tumbuh kembangnya system nilai, moral, dan sikap dalam perikehidupan bermasyarakat secara utuh, tidak terbatas pada lingkungan sekolah saja namun berlanjut pada lingkup yang lebih luas.
Penambahan materi pendidikan tentang budi pekerti merupakan langkah efektif dan sangat penting dilakukan demi terciptanya karakter dan tabiat baik serta menghindari pengkaburan tata nilai.
Kegiatan bimbingan sangatlah perlu dilakukan oleh setiap guru mata pelajaran/mata diklat dengan memanfaatkan waktu beberapa menit sebagai penyegaran perwujudan pembentukan karakter bagi peserta didiknya.
Seperti dikatakan Mendiknas saat memberikan sambutan pada peringatan Hardiknas di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Minggu (2/5), bahwa diantara karakter yang ingin kita bangun adalah karakter yang berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran.
Memang jika dicermati bahwa telah terjadi pengkaburan karakter asli bangsa Indonesia yang dikenal santun sejak jaman nenek moyang mengarah pada karakter yang bersifat sebaliknya. Tidak dipungkiri pula sekarang ini yang seharusnya tugas guru adalah mendidik tapi justru guru banyak yang harus di didik kembali.
Fenomena inilah yang menjadi sorotan Mendiknas sehingga pendidikan karakter perlu segera diterapkan. pendidikan sangat berperan dalam perkembangan kepribadian anak. Karakter adalah produk pendidikan, sedangkan pendidikan sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan batiniah Manusia. Dengan demikian pendidikan janganlah dianggap sebagai pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun harus diperluas mencakup usaha pencapaian emosional dan sosial yang sehat bagi setiap peserta didik.
Akan lebih tepat sasaran apabila mendidik selain berorientasi pada kompetensi, di tujukan pula kepada pengembangan budi pekerti, hati nurani, semangat kecintaan, dan rasa kasih serta kepedulian pada sesama. Membangun karakter berarti membangun peradaban manusia tingkat tinggi. Karakter bangsa yang jelas, kuat, tangguh, berbudi pekerti luhur, jujur, taat hukum, mandiri, dan memiliki etos kerja yang tinggi menghasilkan interaksi yang baik dalam bersosial.
Dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) di masing-masing tingkat satuan pendidikan, sebenarnya sudah cukup memberikan peluang untuk dilaksanakannya pendidikan pengembangan karakter. Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya adalah bahwa kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Jika pendidikan tentang pengembangan karakter sudah masuk dan terintegrasikan dalam kurikulum, maka yang tidak kalah penting adalah pembiasaan warga sekolah dalam memberikan contoh untuk mendorong munculnya sifat baik dalam keseharian. Mungkin pendidikan karakter selama ini sudah ada sekolah yang melaksanakan melalui guru BP.
Namun kenyataan, banyak sekolah yang guru BP nya tidak sebanding dengan jumlah siswanya. Artinya tingkat bimbingan yang dilaksanakan tidak bisa mencapai hasil yang kongkrit. Oleh karenanya perlu metode dan gagasan baru dalam upaya pemberdayaan tenaga pendidik untuk mewujudkan pendidikan pengembangan karakter.
Pada hakikatnya, pendidikan merupakan upaya membangun budaya dan peradaban bangsa. Oleh karena itu, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Pertanyaannya adalah pendidikan yang seperti apa yang dapat membangun karakter bangsa?
Yang jelas bukan pendidikan kekerasan, bukan melalui kegiatan perpeloncoan yang pernah terjadi pada masa-masa penerimaan peserta didik baru, melainkan pendidikan yang menghasilkan output handal yang mampu menjawab segala tantangan peradaban dengan tetap memperhatikan etika, moral, dan tanggung jawab. Dari sinilah akan dimulai pembangunan peradaban luhur suatu bangsa.

2 komentar: